Oleh: Asy Syaikh Muhammad bin Shalih Al Utsaimin
[Di dalam kitab beliau Riyadhus Shalihin, Al-Imam An-Nawawi -rahimahullah- membawakan tiga buah hadits yang berkenaan dengan puasa sunnah pada bulan Muharram, yaitu puasa hari Asyura / Asyuro (10 Muharram) dan Tasu’a (9 Muharram)]
Hadits yang Pertama
Dari Ibnu Abbas -radhiyallahu ‘anhuma-, “Bahwa Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wasallam berpuasa pada hari ‘Asyura dan memerintahkan untuk
berpuasa padanya”. (Muttafaqun ‘Alaihi).
Hadits yang Kedua
Dari Abu Qatadah -radhiyallahu ‘anhu-, bahwa Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wasallam ditanya tentang puasa hari ‘Asyura. Beliau
menjawab, “(Puasa tersebut) Menghapuskan dosa satu tahun yang lalu”. (HR.
Muslim)
Hadits yang Ketiga
Dari Ibnu Abbas -radhiyallahu ‘anhuma- beliau berkata:
“Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, “Apabila (usia)ku sampai
tahun depan, maka aku akan berpuasa pada (hari) kesembilan” (HR. Muslim)
“Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam ditanya tentang puasa
pada hari ‘Asyura, beliau menjawab, ‘Menghapuskan dosa setahun yang lalu’, ini
pahalanya lebih sedikit daripada puasa Arafah (yakni menghapuskan dosa setahun
sebelum serta sesudahnya –pent). Bersamaan dengan hal tersebut, selayaknya
seorang berpuasa ‘Asyura (10 Muharram) disertai dengan (sebelumnya, ed.) Tasu’a
(9 Muharram). Hal ini karena Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,
‘Apabila (usia)ku sampai tahun depan, maka aku akan berpuasa pada yang
kesembilan’, maksudnya berpuasa pula pada hari Tasu’a.
Penjelasan
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam memerintahkan untuk berpuasa pada hari
sebelum maupun setelah ‘Asyura [1] dalam rangka menyelisihi orang-orang Yahudi
karena hari ‘Asyura –yaitu 10 Muharram- adalah hari di mana Allah selamatkan
Musa dan kaumnya, dan menenggelamkan Fir’aun dan para pengikutnya. Dahulu orang-orang
Yahudi berpuasa pada hari tersebut sebagai syukur mereka kepada Allah atas
nikmat yang agung tersebut. Allah telah memenangkan tentara-tentaranya dan
mengalahkan tentara-tentara syaithan, menyelamatkan Musa dan kaumnya serta
membinasakan Fir’aun dan para pengikutnya. Ini merupakan nikmat yang besar.
Oleh karena itu, setelah Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam
tinggal di Madinah, beliau melihat bahwa orang-orang Yahudi berpuasa pada hari
‘Asyura [2]. Beliau pun bertanya kepada mereka tentang hal tersebut. Maka
orang-orang Yahudi tersebut menjawab, “Hari ini adalah hari di mana Allah telah
menyelamatkan Musa dan kaumnya, serta celakanya Fir’aun serta pengikutnya. Maka
dari itu kami berpuasa sebagai rasa syukur kepada Allah”. Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wasallam berkata, “Kami lebih berhak terhadap Musa daripada
kalian”.
Kenapa Rasulullah mengucapkan hal tersebut? Karena Nabi dan
orang–orang yang bersama beliau adalah orang-orang yang lebih berhak terhadap
para nabi yang terdahulu. Allah berfirman,
“Sesungguhnya orang yang
paling berhak dengan Ibrahim adalah orang-orang yang mengikutinya dan nabi ini
(Muhammad), serta orang-orang yang beriman, dan Allah-lah pelindung semua
orang-orang yang beriman”. (Ali Imran: 68)
Maka Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam adalah orang yang
paling berhak terhadap Nabi Musa daripada orang-orang Yahudi tersebut,
dikarenakan mereka kafir terhadap Nabi Musa, Nabi Isa dan Muhammad. Maka beliau
shallallahu ‘alaihi wasallam berpuasa ‘Asyura dan memerintahkan manusia untuk
berpuasa pula pada hari tersebut. Beliau juga memerintahkan untuk menyelisihi
Yahudi yang hanya berpuasa pada hari ‘Asyura, dengan berpuasa pada hari
kesembilan atau hari kesebelas beriringan dengan puasa pada hari kesepuluh
(’Asyura), atau ketiga-tiganya. [3]
Oleh karena itu sebagian ulama seperti Ibnul Qayyim dan yang
selain beliau menyebutkan bahwa puasa ‘Asyura terbagi menjadi tiga keadaan:
1. Berpuasa pada hari ‘Asyura dan Tasu’ah (9 Muharram), ini yang
paling afdhal.
2. Berpuasa pada hari ‘Asyura dan tanggal 11 Muharram, ini
kurang pahalanya daripada yang pertama. [4]
3. Berpuasa pada hari ‘Asyura saja, sebagian ulama
memakruhkannya karena Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam memerintahkan untuk
menyelisihi Yahudi, namun sebagian ulama yang lain memberi keringanan (tidak
menganggapnya makhruh). [5]
Wallahu a’lam bish shawab.
(Sumber: Syarh Riyadhis Shalihin karya Asy-Syaikh Muhammad bin
Shalih Al-Utsaimin terbitan Darus Salam – Mesir, diterjemahkan Abu Umar Urwah
Al-Bankawy, muraja’ah dan catatan kaki: Al-Ustadz Abu Abdillah Muhammad Rifai)
CATATAN KAKI:
[1] Adapun hadits yang menyebutkan perintah untuk berpuasa
setelahnya (11 Asyura’) adalah dha’if (lemah). Hadits tersebut berbunyi:
“Puasalah kalian hari
‘Asyura dan selisihilah orang-orang yahudi padanya (maka) puasalah sehari
sebelumnya dan sehari setelahnya. (HR. Ahmad dan Al Baihaqy. Didhaifkan oleh As
Syaikh Al-Albany di Dha’iful Jami’ hadits no. 3506)
Dan berkata As Syaikh Al Albany – Rahimahullah- di Silsilah Ad
Dha’ifah Wal Maudhu’ah IX/288 No. Hadits 4297: Penyebutan sehari setelahnya
(hari ke sebelas. pent) adalah mungkar, menyelisihi hadits Ibnu Abbas yang
shahih dengan lafadz:
“Jika aku hidup sampai
tahun depan tentu aku akan puasa hari kesembilan”
Lihat juga kitab Zaadul Ma’ad 2/66 cet. Muassasah Ar-Risalah Th.
1423 H. dengan tahqiq Syu’aib Al Arnauth dan Abdul Qadir Al Arna’uth.
“Kalau aku masih hidup
niscaya aku perintahkan puasa sehari sebelumnya (hari Asyura) atau sehari
sesudahnya” ((HR. Al Baihaqy, Berkata Al Albany di As-Silsilah Ad-Dha’ifah Wal
Maudhu’ah IX/288 No. Hadits 4297: Ini adalah hadits mungkar dengan lafadz
lengkap tersebut.))
[2] Padanya terdapat dalil yang menunjukkan bahwa penetapan
waktu pada umat terdahulu pun menggunakan bulan-bulan qamariyyah (Muharram s/d
Dzulhijjah, Pent.) bukan dengan bulan-bulan ala Eropa (Jan s/d Des). Karena
Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam mengabarkan bahwa hari ke sepuluh dari
Muharram adalah hari di mana Allah membinasakan Fir’aun dan pengikutnya dan
menyelamatkan Musa dan pengikutnya. (Syarhul Mumthi’ VI.)
[3] Untuk puasa di hari kesebelas haditsnya adalah dha’if (lihat
no. 1) maka – Wallaahu a’lam – cukup puasa hari ke 9 bersama hari ke 10 (ini
yang afdhal) atau ke 10 saja.
Asy-Syaikh Salim Bin Ied Al Hilaly mengatakan bahwa, “Sebagian
ahlu ilmu berpendapat bahwa menyelisihi orang Yahudi terjadi dengan puasa
sebelumnya atau sesudahnya. Mereka berdalil dengan hadits yang diriwayatkan
dari Rasulullah Shalallahu’alaihi Wasallam,
“Puasalah kalian hari
‘Asyura dan selisihilah orang-orang Yahudi padanya (maka) puasalah sehari
sebelumnya atau sehari setelahnya”.
Ini adalah pendapat yang lemah, karena bersandar dengan hadits
yang lemah tersebut yang pada sanadnya terdapat Ibnu Abi Laila dan ia adalah
jelek hafalannya.” (Bahjatun Nadhirin Syarah Riyadhus Shalihin II/385. cet. IV.
Th. 1423 H Dar Ibnu Jauzi)
[4] (lihat no. 3)
[5] Asy-Syaikh Muhammad Bin Shalih Al-Utsaimin rahimahullah
mengatakan,
Dan yang rajih adalah bahwa tidak dimakruhkan berpuasa ‘Asyura
saja. (Syarhul Mumthi’ VI)
Wallaahu a’lam.
sumber:
http://al-atsariyyah.com
Puasa
Asyura adalah puasa sunnah yang dikerjakan pada tanggal 10 Muharram.
Dari Abu Hurairah -radhiallahu anhu- dia berkata: Rasulullah -shallallahu
‘alaihi wasallam- bersabda:
“Seutama-utama puasa
setelah Ramadlan ialah puasa di bulan Muharram, dan seutama-utama shalat
sesudah shalat fardhu, ialah shalat malam.” (HR. Muslim no. 1163)
Dari Ibnu Abbas radhiallahu anhuma- dia berkata:
“Rasulullah -shallallahu
alaihi wasallam- mendatangi kota Madinah, lalu didapatinya orang-orang Yahudi
berpuasa di hari ‘Asyura. Maka beliau pun bertanya kepada mereka, “Hari apakah
ini, hingga kalian berpuasa?” mereka menjawab, “Hari ini adalah hari yang
agung, hari ketika Allah memenangkan Musa dan Kaumnya, dan menenggelamkan
Fir’aun serta kaumnya. Karena itu, Musa puasa setiap hari itu untuk menyatakan
syukur, maka kami pun melakukannya.” Maka Rasulullah shallallahu ‘alaihi
wasallam bersabda, “Kami lebih berhak dan lebih pantas untuk memuliakan Musa
daripada kalian.” kemudian beliau pun berpuasa dan memerintahkan kaum puasa di
hari itu. (HR.
Al-Bukhari no. 3145, 3649, 4368 dan Muslim no. 1130)
Dari Abu Qatadah Al Anshari -radhiallahu anhu- dia berkata:
“Rasulullah shallallahu
‘alaihi wasallam pernah ditanya mengenai puasa pada hari ‘Asyura`, beliau
menjawab: “Ia akan menghapus dosa-dosa sepanjang tahun yang telah berlalu.” (HR. Muslim no. 1162)
Dari Ibnu Abbas -radhiallahu anhuma-, ia berkata; Rasulullah shallallahu
‘alaihi wasallam bersabda:
“Seandainya tahun depan
aku masih hidup, niscaya saya benar-benar akan berpuasa pada hari ke sembilan
(Muharram).” (HR.
Muslim no. 1134)
Penjelasan ringkas:
Perintah beliau kepada para sahabat untuk berpuasa 10 muharram menunjukkan
puasanya ini hukumnya wajib. Akan tetapi setelah ramadhan diwajibkan, puasa inipun
menjadi sunnah, sebagaimana yang diterangkan oleh para ulama.
Hadits Abu Hurairah di atas menunjukkan bahwa puasa muharram merupakan puasa
sunnah yang terbaik dan terutama, dan keutamaannya adalah Allah akan mengampuni
semua dosa setahun yang lalu. Hanya saja yang dimaksud dengan semua dosa di
sini hanyalah dosa-dosa kecil, karena dosa-dosa besar tidak akan diampuni oleh
Allah kecuali dengan taubat dan rahmat dari Allah. Berdasarkan hadits Abu
Hurairah bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:
“Shalat lima waktu dan
shalat Jum’at ke Jum’at berikutnya, dan Ramadhan ke Ramadlan berikutnya adalah
penghapus untuk dosa antara keduanya apabila dia menjauhi dosa besar.” (HR. Muslim no. 342)
Hadits ini termasuk dalil terbesar yang menunjukkan disyariatkannya mukhalafah
(berbeda) dengan ahli kitab, karena tatkala orang-orang Yahudi juga berpuasa
pada tanggal 10 muharram, Allah Ta’ala melalui lisan Rasul-Nya menurunkan
syariat baru berupa berpuasa pada tanggal 9, dan syariat ini diturunkan semata-mata
agar puasa kaum muslimin berbeda dengan puasa yahudi. Adapun hadits yang
memberikan pilihan untuk berpuasa sehari sebelumnya (tanggal) atau sehari
setelahnya (tanggal 11) maka dia adalah hadits yang lemah. Sehingga puasa hanya
dilakukan pada tanggal 9 dan 10. Lihat keterangannya di:
http://al-atsariyyah.com/?p=565
Hadits ini juga menunjukkan bahwa syariat umat sebelum kita bisa menjadi
syariat kita jika Nabi -alaihishshalatu wassalam- menyetujuinya.
Keterangan lengkap tentang puasa asyura atau muharram bisa dilihat di:
http://al-atsariyyah.com/?p=567
Keutamaan Puasa Asyura Yang Dibarengi Dengan
Hari Lainnya, Puasa Asyura Akan Menghapuskan Dosa Tahun Lalu
Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wasallam ditanya tentang puasa Asyura, maka beliau
menjawab: “Ia menghapuskan dosa tahun yang lalu.” (HR. Muslim (1162), Ahmad
5/296, 297).
Ibnu Abbas menyatakan : “Saya tidak
pernah melihat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam berpuasa pada suatu hari
karena ingin mengejar keutamaannya selain
hari ini (Asyura’) dan tidak pada suatu bulan selain bulan ini (maksudnya:
Ramadhan).” (HR. al-Bukhari (2006), Muslim (1132)).
Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda : “Puasa yang paling utama setelah
Ramadhan adalah bulan Allah yang bernama Muharram. (HR. Muslim,1163).
Juga, “Abu Hurairah Radiyallahu Anhu
meriwayatkan Rasulullah Sallallahu alaihi wa Sallam bersabda : ” Puasa yang
paling utama setelah puasa Ramadan adalah puasa pada bulan Muharam, sedang
salat yang paling utama sesudah salat fardlu adalah salat malam.” HR Muslim II/2611.
Dalam hadits disebutkan bahwa para
sahabat berkata kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam : “Wahai
Rasulullah! sesungguhnya Asyura’ itu hari yang diagungkan oleh
orang Yahudi dan Nasrani”, maka Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam
bersabda: “Tahun depan insya Allah kita akan puasa (juga) pada hari yang
kesembilan.” (HR. Muslim (1134) dari Ibnu Abbas).
Diperbolehkan untuk puasa hari
Asyura. (hari kesepuluh Muharram) satu hari saja, akan tetapi hal itu menjadi
lebih baik untuk puasa hari sebelumnya atau hari setelahnya juga dan ini adalah Sunnah yang diajarkan Nabi (Salallaahu
`Alaihi wa Sallam) yang bersabda : “Tahun depan insya Allah kita akan puasa
(juga) pada hari yang kesembilan.” (hari Muharam), (Diriwayatkan oleh Imam
Muslim (1134) dari Ibnu Abbas, Imam Ahmad, Ibn Majah, Ibn Abi Syaibah,
At-Tahawi, Al-Baihaqi dan Al-Baghawi]. Ibn ‘ Abbas ( radliyallaahu ‘ anhumaa)
berkata : (bersama dengan hari yang kesepuluh (bulanMuharram).
(“Berpuasalah
pada hari Asyura’ dan selisihilah orang-orang Yahudi itu, berpuasalah sehari
sebelumnya atau sehari sesudahnya.” (Fathul Bari, 4/245), red)
(Dikutip dari terjemah Fatawa Al
Lajnah Ad Daimah lil Buhuts Al Ilmiyah wal Ifta, Saudi Arabia, Dewan Tetap Arab
Saudi untuk riset-riset Ilmiyah dan Fatwa, Jilid 10 hal 401, No.13700. http://www.fatwa-online.com/
Keutamaan Puasa di Bulan Muharram
Dari
Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu dia berkata, Rasulullah shallallahu
‘alaihi wa sallam bersabda,
“Puasa
yang paling utama setelah (puasa) Ramadhan adalah (puasa) di bulan Allah
(bulan) Muharram, dan shalat yang paling utama setelah shalat wajib (lima
waktu) adalah shalat malam.“[1].
Hadits
yang mulia ini menunjukkan dianjurkannya berpuasa pada bulan Muharram, bahkan
puasa di bulan ini lebih utama dibandingkan bulan-bulan lainnya, setelah bulan
Ramadhan[2].
Mutiara hikmah yang dapat kita petik dari
hadits ini:
·
Puasa yang paling utama dilakukan pada bulan Muharram adalah
puasa ‘Aasyuura’ (puasa
pada tanggal 10 Muharram), karena Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam melakukannya dan memerintahkan para
sahabat radhiyallahu ‘anhum untuk melakukannya[3], dan
ketika Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam ditanya tentang keutamaannya beliau
bersabda,
“Puasa
ini menggugurkan (dosa-dosa) di tahun yang lalu“[4].
·
Lebih utama lagi jika puasa tanggal 10 Muharram digandengankan
dengan puasa tanggal 9 Muharram, dalam rangka menyelisihi orang-orang Yahudi
dan Nashrani, karena Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam ketika disampaikan kepada beliau bahwa
tanggal 10 Muharram adalah hari yang diagungkan orang-orang Yahudi dan
Nashrani, maka beliau bersabda,
“Kalau
aku masih hidup tahun depan, maka sungguh aku akan berpuasa pada tanggal 9 Muharram (bersama 10 Muharram).” [5]
·
Adapun hadits,
“Berpuasalah
pada hari ‘Aasyuura’ dan selisihilah orang-orang Yahudi, berpuasalah sehari
sebelumnya atau sehari sesudahnya.“[6], maka hadits ini lemah
sanadnya dan tidak bisa dijadikan sebagai sandaran dianjurkannya berpuasa pada
tanggal 11 Muharram[7].
·
Sebagian ulama ada yang berpendapat di-makruh-kannya (tidak
disukainya) berpuasa pada tanggal 10 Muharram saja, karena menyerupai
orang-orang Yahudi, tapi ulama lain membolehkannya meskipun pahalanya tidak
sesempurna jika digandengkan dengan puasa sehari sebelumnya[8].
·
Sebab Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam memerintahkan puasa tanggal 10
Muharram adalah karena pada hari itulah Allah Ta’alamenyelamatkan Nabi
Musa álaihis salam dan umatnya, serta menenggelamkan
Fir’aun dan bala tentaranya, maka Nabi Musa ‘alaihis
salam pun
berpuasa pada hari itu sebagai rasa syukur kepada-Nya, dan ketika Rasulullah shallallahu
‘alaihi wa sallam mendengar
orang-orang Yahudi berpuasa pada hari itu karena alasan ini, maka beliau shallallahu
‘alaihi wa sallam bersabda,
“Kita
lebih berhak (untuk mengikuti) Nabi Musa ‘alaihis salam daripada mereka“[9].
Kemudian untuk menyelisihi perbuatan orang-orang Yahudi, beliau shallallahu
‘alaihi wa sallam menganjurkan
untuk berpuasa tanggal 9 dan 10 Muharram[10].
·
Hadits ini juga menunjukkan bahwa shalat malam adalah shalat
yang paling besar keutamaannya setelah shalat wajib yang lima waktu[11].
***
Penulis: Ustadz Abdullah
Taslim Al Buthoni, M.A.Artikel www.muslim.or.id